KONGSINEWS.COM – Bagi anda penduduk asli Bogor atau mereka yang sudah lama tinggal di kota ini tentunya sudah hapal dengan nama-nama pelosok kota termasuk nama-nama daerah yang sering dilalui.

Sejumlah nama daerah di bogor juga ngetop karena memiliki ciri khas atau di indentikan dengan sesuatu misalkan jembatan, nama pohon, nama lokasi dari tempat yang kramat dan unik, nama orang atau juga nama dari sejarah masa lampau yang pernah terjadi.

Salah satunya adalah nama Jalan Suryakencana yang secara administrasi meliputi dua kelurahan yakni Kelurahan Babakan Pasar dan Kelurahan Gudang Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.

Jalan Suryakencana pada awal abad 18 adalah salah satu bagian dari mega proyek dikenal sebagai jalan pos.

Kemudian masih di abad yang sama disekitar jalan atau kawasan ini diberikan /diperuntukan bagi keturunan etnis tionghoa.

Beberapa abad kemudian kawasan ini menjadi pusat perniagaan dan pusat keramaian.

Selanjutnya ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, setiap tahunnya di kawasan ini di gelar acara perayaan Cap Go Meh.

Sejarah tentang Jalan Suryakencana yang Legendaris

Jalan Suryakencana menurut sejarahnya adalah salah satu jalan tertua, jalan ini merupakan bagian dari mega proyek.

Yang bernama De Groote Postweg yang di bangun pada tahun 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Pembuatan jalan ini berjarak sekitar 1.000 kilometer di mulai dari Anyer (Banten) dan berujung di Panarukan (Jawa Timur).

De Groote Postweg memasuki Buitenzorg (Bogor) dari jalan yang kini jadi Jalan Ahmad Yani berlanjut hingga ke Jalan Jendral Sudirman berbelok ke Jalan Juanda bersambung ke Jalan Suryakencana-Jalan Siliwangi kemudian Jalan Raya Tajur hingga ke Ciawi

Dalam pembangunannya jalan ini menelan korban ribuan pekerja pribumi yang tewas karena di perkerjakan secara rodi atau kerja paksa yang sangat keji.

Jalan ini pertama kali di kenal sebagai Post Weg atau Jalan Pos.

Pada tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda mengubah nama jalan ini menjadi Jalan Handelstraat.

Pasca kemerdekaan jalan Handelstraat di ganti menjadi Jalan Perniagaan.

Lalu ditahun 1970 pemerintah kota Bogor mengubah nama jalan ini menjadi Jalan Suryakencana.

Nama Jalan Suryakencana konon di ambil dari nama Prabu Suryakencana, Raja Pajajaran yang terakhir.

Orang bogor mengenal jalan ini sebagai jalur pedagang atau pusat perniagaan, sebagian lagi mengenal daerah ini sebagai kawasan Pecinan atau
kawasan pemukiman keturunan etnis Tionghoa.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Historis Kedatangan Orang Tionghoa ke Wilayah Jawa Barat

Secara historis kedatangan orang Tionghoa ke wilayah Jawa Barat yang dapat di ketahui identitasnya terjadi pada tahun 414 masehi.

Disebutkan didalam catatan para agamawan bahwa seorang Pendeta Budha bernama Fa Xien (Fa Hien) dalam perjalanan pulang dari India ke negerinya terdampar di Kerajaan Tarumanegara Jawa Barat.

Kedatangan orang-orang ketururunan etnis Tionghoa untuk menetap baru terjadi pada abad-abad sesudahnya.

Mereka berimigrasi secara bergelombang melalui berbagai kegiatan seperti sebagai agamawan, petani, pekerja, perniagaan dan lainnya.

Sementara itu meskipun tidak ada bukti sahih atau catatan jelas siapa orang Tionghoa yang pertama kali berdomisili atau menginjakan kakinya di bogor.

Namun sebagian warga Tiionghoa Bogor percaya bahwa suku Hokien (suku perantau) yang pertama kali datang ke kota ini.

Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia di deklarasikan dan terbentuk.

Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan beberapa kali keturunan etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal dan lainnya.

Seperti peristiwa Geger Pacinan atau orang VOC (Hindia Belanda), meyebutnya Chineeszenmoord (pembunuhan orang-
orang Tionghoa)

Kala itu yang menjadi Guburnur Jendral Hindia Belanda adalah Adriaan Valckenier (berkuasa tahun 1737-1741) ia memberlakukan sebuah Pogrom terhadap keturunan Tionghoa di Batavia (Jakarta).

Pogrom adalah serangan penuh dengan kekerasan secara besar besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan atau lainnya yang dibarengi dengan penghancuran terhadap lingkungannya.

Orang Tionghoa Batavia Mengungsi ke Bogor

Pada bulan Ocktober 1740 terjadi kerusuhan di Batavia (Jakarta) yang dipicu oleh pemberontakan yang dilancarkan oleh para migran (para pekerja asal Tionghoa).

Kerusuhan ini berakibat fatal sehingga terjadi pembantaian besar-besaran.

Akibat dari kejadian tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak dibeberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu oleh etnis Jawa.

Menurut Daradjadi Gondodiprodjo dalam bukunya Geger Pacinan, Perang Tionghoa-Jawa Melawan VOC 1740-1743.

Setidaknya 10.000 orang Tionghoa tewas, sebagian yang lain dapat diamankan dan sebagian kecil yang selamat melarikan diri (terpencar) ke berbagai daerah salah satunya ke daerah Buitenzorg (Bogor).

Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.

Mereka datang ke daerah Buitenzorg (Bogor) ini tepatnya ke Kampung Pulo Geulis oleh sebab disana sudah ada beberapa orang Tionghoa yang sudah lama menetap.

Peluang bagi aktivis pers pelajar, pers mahasiswa, dan muda/mudi untuk dilatih menulis berita secara online, dan praktek liputan langsung menjadi jurnalis muda di media ini. Kirim CV dan karya tulis, ke WA Center: 087815557788.

Diperkirakan orang Tionghoa sudah ada di Bogor sejak tahun 1619 dan berbaur dengan penduduk lokal (orang Sunda).

Sumber lain mengatakan bahwa di kampung Pulo Geulis pada saat itu hanya ada penduduk lokal (orang Sunda) dan atau belum ada orang Tionghoa.

Kampung Pulo Geulis terletak di tengah-tengah sungai Ciliwung, kampung ini meyerupai sebuah delta (pulau kecil).

Saat ini secara administrasi masuk ke wilayah Kelurahan Babakan Pasar Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor

Dahulu ketika Kerajaan Pajajaran masih berdiri pulau ini bernama Pulau Parakan Baranangsiang, pulau ini tempat rekreasi keluarga kerajaan.

Kisah Kelenteng Pan Kho Bio di Kampung Pulo Geulis

Orang Tionghoa pada umumnya taat beribadah, mereka menganut tiga ajaran/kepercayaan yaitu Khonghucu, Tao dan Budha, tempat ibadah mereka bernama Kelenteng (Bio).

Di kampung Pulo Geulis terdapat sebuah Kelenteng yang bernama Pan Kho Bio (kelenteng Pan Kho).

Di dalam ruangan kelenteng ini terdapat beberapa batu peninggalan dari zaman megalitikum.

Batu-batu itu diyakini sebagai Patilasan dari Eyang Jaya Ningrat, Eyang Sakee dan yang paling besar adalah Mbah Raden Mangun Jaya, semuanya itu sudah ada sebelum kelenteng didirikan.

Sedangkan peninggalan dari leluhur etnis Tionghoa adalah Patung Dewa Pan Kho, Patung Dewi Kwan Im dan tempat dupa berbahan logam kuningan.

Selain itu di bagian belakang masih di dalam ruangan kelenteng terdapat mushola dan sarana untuk umat muslim beribadah.

Terdapat juga batu patilasan lainya yang berada di sebelah kanan ruangan yakni Patilasan Mbah Imam dan Prabu Suryakencana.

Keberadaan kelenteng Pan Kho (Pan Kho Bio) di kampung Pulo Ĝeulis ini belum diketahui secara pasti sejak kapan kelenteng itu berdiri karena tidak tertera keterangannya.

Pan Kho Bio berasal dari kata Pan Kho yang berarti nama dewa yang di sembah (di puja/puji), Bio berarti rumah ibadah (kelenteng).

Sehingga Pan Kho Bio bisa di artikan kelenteng (rumah ibadah) tempat memuja Dewa Pan Kho.

Dewa Pan Kho disembah atau dipuja serta dipuji oleh orang-orang Tiongkok kuno.

Jika ada sosok dewa Pan Kho di kelenteng tersebut berarti menandakan keberadaannya sudah ada sejak zaman dahulu kala.

Karena memang di zaman selanjutnya dewa tersebut tidak terlalu populer.

Pemuja dewa Pan Kho kebanyakan berasal dari orang yang mata pencaharianya bukan pedagang melainkan petani yang bercocok tanam.

Seiring perkembangan politik pada saat itu yang berbau agama dan budaya Tionghoa dilarang dimunculkan.

Dari tiga ajaran yang dianut mereka, hanya agama Budha saja yang di akui pemerintah.

Tempat ibadah merekapun terpaksa menginduk kepada agama Budha sebagai pengayom.

Lalu kelenteng Pan Kho (Pan Kho Vio) berganti nama menjadi Vihara Mahabrama.

Keberadaan Vihara Mahabrahma ini sangat unik karena bukan sekedar menjadi tempat ibadah umat Budha Konghucu dan Tao saja namun kerap dikunjungi oleh umat Hindu dan Islam.

Belanda Atur Pembagian Zona Pemukiman Berdasarkan Etnis

Pada tahun 1835 Gubernur Jendral Belanda J.J Rochussen (sumber lain meyebutkan J.C Baud) mengeluarkan kebijakan yang mengatur pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis, kebijakan tersebut di kenal dengan Wijkenstelsel.

Mereka membagi tanah jajahan ke dalam beberapa zona salah satunya zona untuk bangsa timur asing diantaranya yakni zona untuk keturunan etnis Tionghoa.

Yaitu yang diberikan lahan di daerah yang berbatasan dengan jalan raya, sepanjang jalan Handelstraat (Suryakencana) sampai tanjakan empang.

Kebijakan tersebut membuat sebagian komunitas Tionghoa berpindah dari Kampung Pulo Geulis dan sekitarnya ke sekitaran jalan Handelstraat
(Suryakencana).

Setiap pemukim tidak diizinkan keluar dari pemukiman tanpa ada surat izin (wijken-enpassenstelsen) dari pemerintah Belanda.

Pengurusan surat izin dilakukan oleh kepala kelompok pemukiman yang diberi pangkat Kapiten dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jendral Belanda.

Pada masa itu di kawasan ini terdapat beberapa keluarga Tionghoa yang berasal dari marga Tan dan Thung yang sangat kaya raya dan tentunya disegani.

Komunitas Tionghoa Mendirikan Kelenteng Hok Tek (Hok Tek Bio)

Beberapa tahun kemudian para komunitas Tionghoa mendirikan sebuah rumah ibadah baru (kelenteng baru) yang terletak di sisi sebelah kiri jalan Suryakencana.

Lalu di beri nama kelenteng Hok Tek (Hok Tek Bio) kemudian sama dengan kelenteng Pan Kho (Pan Kho Bio) tempat ibadah inipun berganti nama menjadi Vihara Danagun.

Kelenteng Hok Tek (Hok Tek Bio) atau Vihara Dhanagun dahulu ketika baru dibangun pintu gerbang/masuknya menghadap tenggara.

Dikarenakan adanya perluasan dan pembangunan pasar Bogor, pintu gerbang/masuk ke kelenteng berubah menjadi menghadap ke jalan Suryakencana hingga kini.

Pada tahun 1915 kebijakan pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis dihapuskan.

Setiap orang/penduduk memiliki kebebasan untuk bermukim di luar zona yang telah di tentukan hal tersebut menyertai pergeseran batas sosial dan budaya.

Perkembangan selanjutnya kawasan Suryakencana menjadi pemukiman bagi keturunan etnis Tionghoa, Timur Tengah, Sunda, Jawa dan lainnya.

Setelah beberapa generasi terjadilah asimilasi budaya dan bahasa mereka sehari-hari berbahasa sunda dengan logat Bogornya yang khas.

Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan wijkenstelstel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa lebih terfokus.

Peraturan tentang Tionghoa dari Era Orde Lama hingga Orde Baru

Di zaman orde lama (orla) berkuasa walaupun secara umum dari sisi politik semua etnis keturunan mendapatkan hak yang sama.

Namun dalam hal perdagangan yang dilakukan oleh bangsa asing (keturunan etnis Tionghoa) mulai dibatasi.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (PP) Republik Indonesia NO.10 Tahun 1959 yang ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero.

Tentang larangan orang asing berusaha di bidang eceran di tingkat kabupaten,kecamatan dan desa.

Perkembangan politikpun kembali berubah di masa orde baru (orba) berkuasa,kala itu pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan.

Kebijakan tersebut di keluarkan pada Tanggal 6 Desember 1967 melalui Intruksi Presiden (Inpres) NO. 14/1967 tentang pembatasan agama kepercayaan dan adat istiadat tionghoa.

Dalam instruksi tersebut di tetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan atau dalam ruangan tertutup.

Namun bersamaan dengan itu dari sisi ekonomi atau perdagangan (bisnis), mereka diberi kebebasan.

Mereka begitu superior dalam dunia perdagangan di Indonesia, merekalah yang mengusai perekonomian dibnegeri ini, banyak elite Tionghoa yang sukses menjadi konglomerat.

Mereka seolah mengemban citra bahwa Tionghoa sebagai etnis yang selalu sukses secara ekonomi dan tentunya kaya raya.

Peraturan tentang Tionghoa dari Era Gus Dur hingga Era Megawati

Kemudian di era reformasi kala itu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI pada tanggal 17 Januari 2000 mengeluarkan keputusan atau Keppres NO.6 Tahun 2000 yang mana isi dari Keppres tersebut adalah mencabut Inpres NO.14 Tahun 1967.

Keputusan tersebut sekaligus menjadikan masyarakat Tionghoa diberi kebebasan untuk menganut agama kepercayaan dan adat istiadatnya.

Termasuk merayakan upacara-upacara kegamaan seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.

Imlek secara umum berarti tahun baru, Im memiliki arti bulan sedangkan Lek artinya penanggalan.

Sedangkan Cap Go Meh sendiri berarti hari kelima belas dari tahun pertama (hari Imlek/tahun baru), Cap artinya sepuluh, Go artinya lima dan Meh artinya malam.

Selanjutnya pada 19 Januari 2001 Menteri Agama Muhammad Tholchah Hasan mengeluarkan keputusan NO.13/2001.tentang penetapan hari raya imlek sebagai hari libur nasional fakultatif.

Hari libur nasional fakultatif adalah hari libur yang tidak di tentukan pemerintah pusat secara langsung,melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing.

Di masa pemerintahan dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, terbit Keppres NO.19 Tahun 2002 yang menetapkan bahwa hari raya imlek sebagai hari libur nasional.

Kawasan Pecinan Bogor bukan hanya sekedar jalan Suryakencana tengok juga kawasan Jalan Roda, Gg Aut, Jalan Rangga Gading, Kampung Cingcaw, Gudang, Jalan Pedati, Jalan lawang Saketeng semuanya masih di sekitar kawasan Suryakencana.

Di kawasan perniagaan ini tersedia atau menjual aneka komoditas seperti sembako, makanan, minuman (tradisional atau modern) obat, kosmetik, pakaian, kendaraan, perlengkapan olah raga, buku dan sebagainya.

Di jalan Rangga Gading dahulu ada sebuah bioskop yang bernama City Theater yang selalu menampilkan film Mandarin.

Kisah tentang Kawasan Lawang Seketeng

Sementara itu di Lawang Saketeng ada deretan toko yang menjual hasil bumi dan hasil laut terutama ikan asin yang dikeringkan dan sangat berkualitas hingga terkenal ke Asia Tenggara.

Lawang Saketeng ketika zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri adalah nama sebuah pintu gerbang/masuk yang berlipat.

Diperkirakan kini para pelaku niaga di kawasan Suryakencana yang masih bertahan sudah masuk generasi keempat atau kelima.

Dahulu antara tahun 80 – 90-an di jalan Suryakencana ini untuk alat transportasi dan kendaraan pribadi masih diberlakukan dua arah tidak seperti saat ini yang menjadi satu arah.

Terdapat beberapa alat transportasi yang hilir mudik di jalan ini seperti bemo, colt, susuki hijet dan lainnya.

Alat transportasi ini kecuali bemo, semuanya berwarna kuning mempunyai pintu untuk penumpang naik di bagian belakang.

Bila dari Ciawi atau Tajur akan menuju ke Pasar Bogor atau sebaliknya hanya butuh satu kali naik transportasi ini.

Kawasan ini sejak dari dulu sudah menjadi pusat perniagaan dan keramaian, di lantai atas pasar Bogor terdapat sebuah bioskop kelas menengah ke bawah yang bernama Bogor Theater.

Dahulu ada semacam jembatan peyeberangan letaknya di sebelah kiri depan kelenteng,l alu berjalan sedikit di tepi jalan terdapat pohon besar di bawahnya ada pedagang yang menjual koran, tabloid, majalah, dan TTS.

Lawang Suryakencana Menjadi Kawasan Cagar Budaya

Seiring perkembangan zaman, Bogor theater dan lantai bawahnya dibongkar, selanjutnya pada tahun 1990 telah berdiri sebuah bangunan megah (kala itu) sebagai pusat perbelanjaan modern yang diberi nama Plaza Bogor.

Mengingat sejarah panjang jalan Suryakencana pada masa lampau ditambah dengan peran penting jalan tersebut, pada tahun 2015 melalui Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 17 tahun 2015 kawasan ini di tetapkan sebagai kawasan cagar budaya.

Kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan cagar budaya juga guna mengembalikan kualitas lingkungan serta menjaga nilai sejarah yang ada di kawasan tersebut sehingga perlu untuk di lestarikan.

Kemudian pada tahun 2016 Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto,meresmikan sebuah gerbang/gapura yang di beri nama Lawang Suryakencana.

Lawang Suryakencana berada tepat di pangkal jalan Suryakencana, berdiri tegak lurus dengan pintu gerbang Kebun Raya.

Lawang Suryakencana adalah sebuah gapura atau gerbang (lawang) yang berdiri kokoh setinggi 13 meter.

Berarsitektur Tiongkok, berwarna merah dilengkapi dengan lampion-lampion cantik yang bergelantungan.

Melihat jauh k eatas atap gapura/lawang akan terlihat sebuah kujang setinggi 112 cm dengan bagian runcingnya sengaja di arahkan ke arah kebun raya.

Di bawah atap tepatnya di gapura bagian atas terpampang tulisan “Lawang Suryakancana” Kampung Tengah-Buitenzorg, Dayeuh Bogor.

Lalu di bagian bawah kiri kanan gapura/lawang terlihat sepasang patung maung (harimau) berwarna hitam dan putih.

Mungkin ini hanya terjadi di kota Bogor oleh sebab penjaga gapura (lawang) dalam kebudayaan Tiongkok biasanya atau seharusnya adalah patung singa.

Lawang Suryakencana merupakan salah satu simbol pengakuan bahwa etnis dan budaya Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Kota Bogor.

Selain itu membantah pendapat yang disampaikan oleh segelintir orang bahwa pembangunan gerbang (lawang) ini merupakan usaha pemisahan atau pengkotak-kotakan budaya.

Pada kenyataannya kawasan ini adalah merupakan tempat bertemunya berbagai etnis bahasa dan budaya.

Bogor Street Festival (BSF) Cap Go Meh.

Setiap satu kali dalam satu tahun Jalan Suryakencana selalu ditutup, kendaraan roda dua maupun roda empat tidak bisa melewati jalur ini dikarenakan akan di pergunakan untuk sebuah acara yang bernama Bogor Street Festival (BSF) Cap Go Meh.

BSF Cap Go Meh adalah sebuah acara tahunan yang selalu di gelar di kawasan ini.dilaksanakan tepat pada malam kelimabelas tahun baru imlek atau cap go meh, acaranya sendiri di mulai dari pukul 16.00-24.00.

BSF Cap Go Meh tahun ini telah berlangsung pada tanggal 5 Februari yang lalu, dengan tema Unity in Diversty atau Ajang Budaya Pemersatu Bangsa.

Pembukaan acara di awali dengan doa dari 6 tokoh pemuka agama.

Ajang budaya pemersatu bangsa ini menampilkan parade seni budaya nusantara yang melibatkan sekitar 75 kelompok seni, marching band, liong barongsai dan berbagai usaha mikro kecil dan menengah.

Di tahun 2023 ini BSF Cap Go Meh secara resmi memperkenalkan lagu tema berjudul “Dari Kita untuk Bogor, Dari Bogor untuk Indonesia”.

Penonton atau pengunjung di perkirakan mencapai 50.000-an orang mereka datang dari berbagai daerah seperti jabodetabek, sukabumi,cianjur, bandung dan lainnya.

Perhelatan ajang budaya permersatu bangsa ini secara umum terlihat meriah lancar dan sukses.

Rangkaian BSF Cap Go Meh tahun 2023 menjadi helatan terakhir bagi Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto.

“Perhelatan BSF Cap Go Meh tahun ini adalah yang terakhir bagi saya sebagai walikota, saya berharap siapapun penerus saya akan terus memelihara acara ini,” kata Bima.

Masih menurut Bima Arya, perhelatan ini bukan hanya sekedar kesenian dan kebudayaan menurutnya acara ini adalah tradisi merawat keberagaman yang merupakan warisan turun menurun dari nenek moyang kita.

Selain itu semangat yang meng-Indonesia ini juga sesuai dengan tagline “dari Bogor untuk Indonesia”.

Suasana Terbaru Mengenai Jalan Suryakencana Saat Ini

Pada tahun 2021 di sepanjang ruas jalan Suryakencana banyak terpampang spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap revitalisasi jalan Suryakencana tahap tiga, penduduk setempat dengan tegas menolak revitalisasi tersebut.

Kini jalan Suryakencana telah banyak berubah jalan utama dan trotoarnya tidak seperti dahulu yang terbuat dari bahan aspal melainkan betonisasi dari sejenis conblok hampir sama seperti jalan braga di bandung.

Selain itu jalan utamanya meyempit serta yang paling terlihat mencolok adalah ketersediaan trotoar yang lebar dan hadirnya sejumlah kursi di kiri kanan trotoar.

Sejumlah gang sempit di sepanjang jalan ini pun berubah wujud menjadi lorong yang terlihat bersih ditambah pernak-pernik lainya cocok untuk berswafoto bahkan ada salah satu gang yang populer di sebut dengan gang bima arya.

Daerah ini kini bukan saja tumbuh menjadi sebuah kawasan yang padat tapi ia mirip sebuah mozaik dari tumbuhnya sebuah asimilasi budaya-budaya yang bersumber dari serpihan-serpihan perjalanan sejarah yang panjang.

Jalan Suryakencana adalah sepenggal sejarah kota bogor yang telah melewati perjalanan panjang dan tercatat dalam sejarah kota ini.

Mulai dari zaman Kerajaan Pajajaran sampai kini saat kawasan ini tercatat sebagai salah satu destinasi wisata populer khususnya wisata budaya dan kuliner.

Warga keturunan Tionghoa sudah menjadi brand di kawasan ini, maka tidak berlebihan jika suasana Tionghoa sangat terasa di sini

Seperti beberapa lampion yang bergelantungan serta ciri khas lainya.

Lebih dari itu kawasan Suryakencana tetap menjadi magnet tersendiri karena merupakan salah satu icon dari kota bogor.

BSF Cap Go Meh juga menjadi tonggak sejarah dalam menjaga keberagaman dan kerukunan umat beragama.

Roda kehidupan seakan tak pernah berhenti berdenyut dari waktu kewaktu pergantian nama dan perubahan wajah jalan Suryakencana hingga berkembang menjadi seperti sekarang.

Semoga toleransi antar umat beragama dan keberagaman budaya tetap terjaga dan lestari selalu.

Sejarah perlu didudukan sebagaimana mestinya tanpa adanya distorsi, sebagai warisan yang perlu terus di jaga dan di lestarikan untuk generasi mendatang. (Yan Brata Dilaga, wartawan budaya).***